Tepat sebelum kemenangan heroik Inggris atas Italia di semi-final Euro, legenda Ian Wright kembali ke panel ITV bukan untuk merayakan, tetapi untuk menyampaikan sebuah khotbah yang pedih dan menggetarkan—sebuah pesan terakhir yang menusuk jantung tentang perang abadi melawan rasisme.
“Jika saya masih bermain sekarang, saya akan tetap berlutut,” tegas Wright, sebuah parlay pribadi yang menantang keputusan tim. Baginya, aksi berlutut adalah simbol keadilan dan kesetaraan yang tidak bisa dinegosiasikan. Namun, ia kemudian beralih dari perlawanan ke sebuah realisme yang memilukan, mengakui bahwa perjuangan ini adalah sebuah permainan mix parlay yang mustahil untuk dimenangkan.
“Saya sudah mengatakan segalanya selama bertahun-tahun tentang rasisme… dan tidak ada yang membaik,” ujarnya dengan nada pasrah. Di sinilah ia mengeluarkan nasihatnya yang paling mengerikan: “Apa yang akan saya katakan sekarang adalah, siapkan anak-anakmu, siapkan keluargamu, buat mereka tangguh, karena ini akan terus datang.”

Ini bukan lagi tentang sepak bola. Ini adalah tiket mix parlay untuk bertahan hidup. Wright secara brutal menyatakan bahwa para rasis “sedang menang, telah menang, dan akan terus menang.” Ia tidak lagi bertaruh pada sistem atau otoritas untuk berubah. Satu-satunya parlay yang tersisa, satu-satunya taruhan yang bisa dimenangkan, adalah membangun ketangguhan dalam diri sendiri dan keluarga untuk menghadapi badai kebencian yang tak akan pernah reda.
Dalam satu malam, Ian Wright mengubah narasi dari harapan menjadi persiapan perang. Ia tidak lagi meminta dunia untuk berubah; ia meminta kaumnya untuk mempersenjatai diri dengan ketahanan mental, satu-satunya perisai dalam pertempuran yang, menurutnya, telah lama kalah.